Rabu, 15 Januari 2014

(PERTANIAN MODERN) :Teknologi Pertanian Terpadu Antara Padi dan Itik, Belajar Dari Negeri Jepang

Keluarga Takao Furuno San melakukan usaha pertanian dengan sekala kecil, mereka mempunyai tanah hanya 2 ha, dimana 1,4 ha digunakan untuk usaha pertanian terpadu padi dan bebek, sisanya yang 0,4 ha digunakan untuk pertanian sayu-mayur tanpa menggunakan pestisida. Pertanian milik keluarga ini mempunyai teikei (pelanggan, pembeli langsung) sebanyak 100 keluarga.
Sepuluh tahun pertama Furuno san memelihara bebek Aigamo, bebek persilangan antara bebek liar dan bebek jinak. Furuno san setiap hari bangun pagi-pagi dan menghabiskan waktunya bekerja di sawah padi di bawah terik sinar matahari. Setelah selama sepuluh tahun bergelut dengan bebek Aigamo, Furuno san sangat mensyukuri pengalamannya yang penuh tantangan tersebut. Pada 12 tahun terakhir dia mengabdikan tenaganya untuk penelitian lapangan tentang pertanian terpadu padi dan bebek.
Apabila petani Asia menanam padi biasanya akan selalu ditemui bebek. Sawah padi dan bebek mempunyai hubungan yang sangat dekat dan tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi bebek pada umumnya dipandang rendah di beberapa negara. Di Jepang terdapat ungkapan perasaan “klesotan bebek”. Di Indonesia orang yang hanya sukanya mengikut saja disebut “Membebek”. Di Vietnam orang bilang “Jika kamu ingin kaya peliharalah ikan, jika kamu ingin memperoleh uang peliharalah babi, jika kamu ingin miskin peliharalah bebek”. Akan tetapi, jika bebek dan tanaman padi digabungkan dalam pertanian terpadu padi dan bebek, akan menjungkirbalikan pepatah tersebut diatas. Sehingga kita perlu mempertimbangkan kembali pemanfaatan bebek dalam usaha pertanian.

Ide dasar
Apakah yang dimaksud pertanian terpadu padi dan bebek ? Furuno san menjawab dengan definisi sederhana istilah tersebut dimulai dengan pengertian umum. Bebek Aigamo adalah hasil persilangan antara pejantan bebek liar dan betina yang telah diternakan. Dia memelihara bebek Aigamo di sawahnya yang ditanami padi karena mempunyai daya tahan yang kuat, dagingnya enak, dan dapat bekerja dengan baik. Dia menganjurkan agar kita menggunakan bebek asal negara kita masing-masing.
Unggas air dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu bebek asli, angsa dan bebek Muscovy. Diantara ketiga bebek ini, bebek Muscovy merupakan bebek yang paling lemah terhadap air sehingga tidak cocok untuk pertanian terbadu dengan padi. Begitu juga angsa juga tidak cocok untuk pertanian terpadu dengan padi karena angsa suka memakan daun padi. Bebek biasa dengan ukuran yang kecil paling baik untuk dipelihara sawah padi. Teknik umum pertanian padi dan bebek yang dia laksanakan adalah sebagai berikut:
a. Sawah padi ditutup dengan pagar bambu, jaring, aliran listrik, dan bahan-bahan lainnya. Penutupan sawah ini bertujuan untuk menjaga bebek dari terkaman predator (pemangsa bebek) dan mencegah bebek lepas keluar sawah.
b. Satu sampai dua minggu setelah penanaman bibit padi, anak bebek yang berumur 1-2 minggu dilepas di sawah dengan jumlah yang proporsional yaitu 20-30 ekor per 10 are.
c. Anak bebek dipelihara dengan cara melepaskannya di sawah baik siang maupun malam sampai dengan saatnya bulir padi terbentuk (di Jepang sekitar 2-3 bulan). Seperti dilakukan di pedesaan di Negara Asia pada umumnya bebek hanya dilepas di sawah pada siang hari saja kemudian digiring masuk kandang pada sore hari dengan alasan untuk mencegah bebek tersebut dicuri orang.
Untuk percobaan, dilepaskan anak Aigamo di sawah padi setelah penanaman bibit padi. Anak bebek akan berenang keseluruh penjuru sawah padi, dengan rakus memakan rumput liar (gulma), serangga, katak, berudu dan lumpur di sawah padi. Anak bebek ini akan tumbuh dengan cepat. Tanaman padinya akan terbajak dengan baik, keluar cabang dengan baik, dan tumbuh dengan pesat.
1. Pertanian terpadu padi dan bebek tidak hanya teknik penyiangan
Melepaskan unggas air ke sawah padi merupakan perkerjaan yang sangat sederhana. Akan tetapi keberhasilan kegiatan ini sangat bervariasi tergantung kepada orang, negara dan waktu. Yang sangat menarik, masih banyak orang yang beranggapan bahwa bebek Aigamo hanya digunakan untuk penyiangan saja. Menurut teknik pertanian terpadu padi dan bebek ini, sawah padi ditutup dengan pagar beraliran listrik, jaring dan sebagainya, bertujuan untuk menciptakan lingkungan dimana bebek Aigamo dan padi dapat menjalin simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Furuno san menyebut simbiose ini sebagai “Dunia satu bebek dapat manfaat banyak”. Pertanian padi dan bebek telah terpadu dalam sawah padi secara organis.
Bebek mempunyai 6 manfaat untuk budidaya padi: 1. Manfaat untuk penyiangan, 2. Manfaat pengendalian hama penyakit, 3. Manfaat pemupukan, 4. Manfaat pembajakan dan penggemburan tanah sepanjang waktu, 5. Manfaat mengendalikan keong emas, 6. Manfaat stimulasi pertumbuhan padi.
Di sisi lain sawah padi mempunyai manfaat untuk pemeliharaan bebek seperti berikut: 1. Penggunaan sumber alami sebagai makanan seperti gulma, serangga, air tanaman, 2. Penggunaan ruang yang tersisa di sawah padi sebagai habitat bebek, 3. Penggunaan air yang berlimpah, 4. Sebagai tempat bebek bersembunyi dibawah daun padi.
Pada tahun belakangan ini, sistem ini menjadi bertambah variasi dan kreasinya dengan adanya penambahan ikan, azolla, dan peningkatan-nitrogen.
2. Gulma dan serangga ada untuk tanaman padi


Tidak ada sesuatupun didunia ini yang tidak mempunyai manfaatnya. Semua akan berjalan sesuai dengan aturan yang telah diciptakan Tuhan YME dalam ekosistem di planet bumi ini.
Memang benar di sawah padi terdapatnya gulma dan hama penyakit. Akan tetapi, dalam pertanian modern, pendapat manusia tentang bercocok tanam padi telah didengungkan secara berlebihan bahwa gulma dan hama penyakit dijastifikasi hanya sebagai makhluk hidup yang selalu berbahaya dan mengganggu yang harus diberantas.
Banyak orang telah mengendalikan dan memberantasnya dengan herbisida dan pestisida. Akan tetapi situasi akan berubah sama sekali apabila bebek dilepas di sawah padi. Opini yang telah dibangun tersebut di atas segera terbukti sebaliknya. Menarik sekali serangga dan gulma yang kita anggap sebagai “makhluk jelek” menjadi makanan yang sangat berguna untuk bebek, dan dapat dirubah menjadi daging, sedangkan kotoran bebek menjadi pupuk tanaman padi, dan dirubah menjadi beras. Akhirnya terhidanglah makanan berupa daging dan nasi yang menjadi santapan lezat kita.
Furuno san berkata bahwa cerita ini adalah lelucon, tetapi beberapa tahun kemudian, apa yang dikatakan menjadi kenyataan. Teknik ini terdapat sedikit kontradiksi. Empat atau lima minggu setelah melepas bebek ke sawah padi, jumlah gulma dan serangga menurun secara tajam sebagai hasil dari “efek bebek”. Ini adalah dampak alami yang ditimbulkannya dan yang kita inginkan. Akan tetapi keadaan ini juga bisa menimbulkan penurunan persediaan alami makanan bebek di sawah padi.

Maka dari itu kemudian muncul ide baru, Furuno san mulai menumbuhkan gulma yang disebut azolla sebagai “tanaman pakan” di sawah padi untuk makanan bebek. Dengan kata lain, Furuno san aktif menumbuhkan gulma di sawah padi. Kita dapat menyebutnya sebagai suatu pembalikan pemikiran yang terbalik.

3. Perbandingan dengan pertanian padi modern
Pertanian terpadu padi dan bebek sama sekali bukan teknik pertanian baru. Teknik ini merupakan penemuan kembali dan pembangunan kembali teknik lama. Akan menjadi jelas ketika kita membandingkannya dengan pertanian modern. Pertanian padi modern menggunakan metoda tunggal untuk menangani masalah, yaitu dengan mengaplikasikan herbisida untuk memberantas gulma, dan menggunakan pestisida dan bahan kimia lain untuk memberantas hama dan penyakit tumbuhan, dan menggunakan pupuk kimia untuk menyediakan unsur hara tanah. Cara ini merupakan pendekatan “Plester penutup luka”, mengobati satu demi satu gejala yang tampak. Akan tetapi bebek dapat melakukan sendiri semua peran tersebut. Hal ini merupakan kunci menuju teknik yang sempurna, “Bebek satu – berkat berlimpah”.
4. Bebek sebagai binatang pekerja yang bahagia
Pertanian model lama, begitu mudahnya menggunakan pestida, herbisida, dan pupuk kimia, tetapi mereka perlu input dari luar lainnya yaitu perlu tenaga untuk menyemprotkannya pada hamparan sawah padi. Dan kalau menggunakan mesin spray, diperlukan orang lagi untuk menjalankan mesin tersebut.
Akan tetapi, pada pertanian terpadu padi dan bebek, bebek di sawah padi dapat melakukan semua aktifitas baik penyiangan gulma, pembasmian hama, maupun pemupukan. Tidak diperlukan manejemen yang sulit .atau input tenaga tambahan banyak. Maka dari itu bebek disebut “tenaga kerja binatang”. Tenaga kerja bebek sama sekali berbeda dengan tenaga kerja binatang lain seperti kuda untuk menarik muatan barang yang berat atau sapi yang digunakan untuk membajak sawah.
Bebek Binatang Bahagia
Kuda dan sapi dipekerjakan di lapangan mengeluarkan energi banyak, sedangkan bebek melaksanakan kerjanya sambil makan, bermain, buang kotoran dan tidur, kegiatan yang menyenangkan. Sebagai hasil bebek dan padi tumbuh secara alami. Sebenarnya bebek tersebut tidak bekerja dengan perintah tertentu, tetapi bebek dapat bergerak bebas dan senang. Kita dapat mengatakan disini bahwa bebek merupakan “binatang pekerja yang bahagia”
Bebek dapat bermain dan bergerak lebih bebas di sawah padi, dibanding broiler yang berada dalam kandang ayam yang padat dan sedikit angin. Furuno san suka pada pertanian terpadu padi dan bebek sebagai “peternakan bebas”.
Bebek tidak hanya bekerja, tetapi juga memupuk padi dan melakukan banyak peran. Pertanian terpadu padi dan bebek dapat kita dinikmati. Metoda peternakan ini dengan jelas dapat memanfaatkan potensi secara penuh peternakan di Asia.
5. Potensi ketahanan siklus ekosistem
5.1. Petanian padi modern menciptakan sistem yang melemah
Pada setiap pertengahan bulan Juni kita dapat menikmati keindahan pemandangan sawah padi di seluruh Jepang. Dalam rangka mengurangi timbulnya gulma, hama, dan penyakit, pada pertanian organik tradisional, dalam penanaman sayur-sayuran, biasa dilakukan pergantian komoditi tanaman, pergantian lahan, dan tumpangsari tanaman dengan menggunakan berbagai varietas sayur-sayuran. Akan tetapi pada pertanian padi modern, hanya difokuskan pada produksi jangka pendek dengan menggunakan sedikit pekerja. Pada kasus pertanian padi organik, juga hanya satu jenis komoditi yang ditanam.
5.2. Diversifikasi yang kreatif
Dengan melepas bebek dalam satu tanaman monoculture padi saja, kita dapat meningkatkan keanekaragaman tumbuhan sambil mengendalikan pertumbuhan (seperti diversifikasi) gulma dan hama penyakit. Kalau kita dapat membuat ekosistem yang baru dan beranekaragam dimana padi, bebek dan tanaman air tumbuh bersama. Ini yang diinginkan dalam pertanian terpadu padi dan bebek. Sejak tahun 1993, Furuno san berusaha meneruskan peningkatan keaneragaman dengan memasukan azolla, paku air untuk peningkatan nitrogen ke dalam sawah padi dan bebek. Yang menarik dalam pertanian terpadu padi bebek adalah bagaimana meningkatan keaneragaman secara kreatif yang dapat meningkatkan produktivitas.
5.3. Pertanian padi sebagai siklus ekosistem yang kekal
kesuburan tanahUntuk memperlihatkan dengan jelas ciri khas pertanian terpadu padi dan bebek, Furuno san membuat perbandingan sekema siklus ekosistem “pertanian padi modern”, “pertanian padi organik” dan “pertanian terbadu padi dan bebek”. Pengembangan pertanian padi modern dengan ciri melakukan penggantian tenaga kerja dengan sejumlah energi bahan bakar fosil yang diimpor disertai input eksternal lainnya.
Pada pertanian padi organik, polusi yang ditimbulkan relatif lebih sedikit, karena tidak menggunakan pupuk kimia maupun bahan kimia lain yang diproduksi secara industri. Akan tetapi Jepang sangat tergantung pada sumber bahan baku asal luar negeri sebagai material untuk pembuatan pupuk kompos dan organik. Dapat dikatakan bahwa padi organik yang tumbuh di Jepang bertumpu pada kesuburan tanah luar negeri. Akan tetapi pada kasus pertanian terpadu padi dan bebek, hanya diperlukan sedikit input eksternal. Gulma dan serangga dimakan oleh bebek, sedangkan bebek memberikan dampak peningkatan pertumbuhan tanaman padi. Pertanian terpadu padi dan bebek lebih kekal dan mempunyai siklus lebih baik dari pada metoda lain.
Pertanian terpadu padi, bebek dan azolla merupakan jalan kreatif untuk menciptakan siklus ekosistem produktif yang kekal.
Sumber: disalin dari (http://warasfarm.wordpress.com/2013/08/30/teknologi-pertanian-terpadu-antara-padi-dan-itik-di-jepang/:Farming Japan Vol.43-3, 2009.) Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD

BACA SELANJUTNYA... ¾¾ªª

Sabtu, 27 Juli 2013

KAJIAN TEORI: JAMUR BEAUVERIA BASSIANA ADALAH INSEKTISIDA HAYATI PALING AMPUH DAN AMAN



Serangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian yang dalam kasus ini adalah pemeliharaan anggrek,padi,jadung serta tanaman yang lainnya. Untuk megendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia.
Ditengah maraknya budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas utama.
Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokhemikal telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai alternative teknologi untuk menurunkan populasi hama. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana.

Di Indonesia, hasil-hasil penelitian B. bassiana juga telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk mengendalikan serangga hama kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta) (Prayogo, 2006), Plutella xylostella pada sayursayuran (Hardiyanti, 2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakaoHypothenemus hampei (Sudarmadji dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006).

Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di lapang khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik cendawan-cendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan sistem pertanian.

Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama Beauveria bassiana. Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera.

Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988). Mekanisme Kerja B.bassiana  yakni B.bassiana masuk melalui mulut serangga hama, kemudian tumbuh dan berkembang menghancurkan sistem organ dari dalam. B.bassiana menempel pada kulit hama dan mengeluarkan enzim (Kitinase, Protease, Lipase) untuk menghancurkan kulit.  B.bassiana mengeluarkan racun (Beauvericin, Beauveroilides, Asam oksalat) untuk membunuh hama. Miselium tumbuh secara progresif dan muncul badan buah berwarna putih pada hama yang mati, jika hama terinfeksi tersinggung hama sehat, maka hama akan tertulari, penularan dapat melalui angin. Kematian hama berkisar + 4-8 hari setelah terinfeksi B.bassiana.

Serangga inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain:
·         kutu pengisap (aphid), 
·         kutu putih (whitefly), 
·         belalang, 
·         hama pengisap, 
·         lalat, 
·         kumbang, 
·         ulat, 
·         thrips, 
·         tungau, dan beberapa spesies uret. 
Sedangkan habitat tanamannya mulai tanaman kedelai, sayur-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga tanaman-tanaman hutan. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Hunt et al. (1984) menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik pada integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen, terutama untuk pertumbuhan hifa (Thomas et al., 1987). Beberapa strain isolat B.bassiana yang dikoleksi saat ini adalah berasal dari berbagai spesies serangga hama yang merupakan inang spesifiknya. Semua isolat telah diuji di laboratorium pada ulat H.armigera dan ternyata dua diantaranya menunjukkan virulensi tinggi . B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kučera dan Samšiňáková, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B.bassiana hanya mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna. Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976).

Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya.

Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.

Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan temperatur serta sedikit cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi dan sporulasi cendawan entomopatogen (Roberts dan Campbell, 1977; McCoy et al., 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenisitas, dan kelulusan hidup cendawan umumnya antara 20-30°C (McCoy et al., 1988). Untuk perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat tinggi (> 90% RH), terutama kelembaban di lingkungan mikro sekitar konidia sangat penting perannya dalam proses perkecambahan dan produksi konidia (Millstein et al., 1983; Nordin et al., 1983). Tetapi sebaliknya untuk melepaskan konidia B. bassiana dari konidifor hanya dibutuhkan kelembaban sekitar 50% (Gottwald dan Tedders, 1982).
Meskipun pengaruh cahaya terhadap infeksi cendawan belum diketahui secara jelas, tetapi intensitas sinar ultraviolet tertentu dapat merusak konidia cendawan (Callaghan, 1969). Fuxa (1987) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari dengan rata-rata panjang gelombang antara 290-400 nm cukup efektif menurunkan persistensi deposit konidia pada pertanaman. Sementara Ignoffo et al. (1977) mengemukakan bahwa waktu paruh (half-life) sebagian besar spora cendawan yang terekspos cahaya buatan dengan panjang gelombang mendekati panjang gelombang sinar matahari (290-400 nm) hanya sekitar 1-4 jam, tetapi kenyataannya di lapang waktu paruh dapat mencapai lebih dari 4 jam.

Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi. Plate (1976) juga menyatakan bahwa epizootik cendawan yang terbentuk secara alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya.
Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun blastosporanya (Soper dan Ward, 1981; Feng et al., 1994). Konidia yang diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif menyebabkan mortalitas hama sasaran. Mortalitas hama semut api, Selenopsis invicta, yang dikendalikan dengan B. bassiana tertinggi mulai 3-8 hari setelah perlakuan. Sedangkan enkapsulasi (pellet) konidia B. bassiana dengan menggunakan kalsium alginat juga efektif meningkatkan mortalitas S. invicta (White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam tanah.
Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh B. bassiana, seperti beauvericin, bassianin, bassiacridin, bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al., 2000; Vey et al., 2001; Quesada-Moraga dan Vey, 2004). Senyawa metabolit sekunder ini dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada epizootik di alam (tanah) maupun pada epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder, atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al., 2001).
Penggunaan B. bassiana dalam pengendalian hama telah diuji secara luas di berbagai negara. Hasil uji toksikologi terhadap salah satu produk B. bassiana, Botanigard, menunjukkan bahwa produk tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berhubungan dengan patogenisitas dan toksisitasnya, sehingga produk tersebut digunakan secara aman selama lebih dari 10 tahun di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain (US EPA, 2006).

Cendawan B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas, sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran. Hal ini memungkinkan B. bassiana dapat menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna. Namun, Plate (1976) mengungkapkan bahwa tingkat kepekaan serangga bukan sasaran terhadap infeksi B. bassiana sangat ditentukan oleh virulensi dan patogenisitas cendawan, serta spesies serangga inang. Selain itu, perbedaan fisiologis dan ekologis inang juga mempengaruhi infeksi B. bassiana. Misalnya, serangga bukan sasaran yang mudah terinfeksi B. bassiana di laboratorium tidak akan serta merta terinfeksi pada kondisi lapang. Ludwig dan Oetting (2001) menegaskan bahwa beberapa serangga musuh alami yang peka terhadap infeksi B. bassiana di laboratorium ternyata mengalami infeksi sangat rendah pada uji di rumah kaca. Disamping itu, hasil uji ekotoksikologi terhadap produk Botanigard menunjukkan bahwa risiko secara ekologis yang diperlihatkan oleh serangga bukan sasaran yang diperlakukan dengan formulasi B. bassiana sangat rendah (US EPA, 2006).

Dihubungkan dengan keamanan secara hayati, cendawan entomopatogen dikelompokkan menjadi cendawan dengan kisaran inang spesifik dan yang kisaran inangnya luas (MacLeod, 1963). Cendawan yang memiliki kisaran inang spesifik umumnya menjadi parasit sejati (obligat) dan bersifat sangat virulen tarhadap inang. Sebaliknya yang kisaran inangnya luas sebagian besar merupakan patogen fakultatif, bersifat saprofit, dan cenderung kurang patogenik (Goettel et al., 1990), dan biasanya virulensinya tinggi hanya pada spesies inang dari mana cendawan tersebut pertama kali diisolasi. Contoh, B. bassiana yang diisolasi dari ulat H. armigera akan lebih patogenik pada inangnya tersebut dibanding dengan inang-inangnya yang lain. Selain itu, cendawan yang kisaran inangnya lebih luas justru menjadi lebih spesifik menginfeksi inang jika di lapang. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dipengaruhi oleh interaksi antara faktor abiotik dan biotik di lapang, sehingga serangga yang mudah terinfeksi di laboratorium belum tentu mudah juga terinfeksi di lapang. Oleh karena itu, kemungkinan terinfeksinya serangga bukan sasaran oleh B. bassiana di lapang sangat kecil. Dengan demikian, aplikasi B. bassiana di lapang cenderung aman bagi musuh alami atau serangga berguna lainnya. Infeksi B. bassiana pada manusia sangat jarang terjadi. Meskipun demikian, dilaporkan ada dua kasus infeksi B. bassiana yang menyebabkan mikosis pada manusia (Henke et al., 2002; Tucker et al., 2004). Namun infeksi tersebut terjadi pada kondisi kesehatan manusia yang sangat buruk akibat penyakit leukimia akut.

Pengujian Botanigard terhadap mamalia, burung, dan ikan juga tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap perkembangan hewan-hewan tersebut (US EPA, 2006).
Demikian pula pengujian terhadap sejumlah reptil maupun vertebrata yang membuktikan bahwa B. bassiana tidak menginfeksi keduanya (Georg et al., 1962; Fromtling et al., 1979; Gonzalez et al., 1995).
Cukup banyak tersedia bahan untuk media alami perbanyakan B. bassiana, antara lain: beras, gandum, kedelai, jagung, padi-padian, sorghum, kentang, roti, dan kacang-kacangan. Bahan mana yang akan digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemudahan memperoleh bahan tersebut, biaya, dan strain isolat yang akan diperbanyak. Dalam perbanyakan B. bassiana dengan bahan-bahan alami, untuk menghasilkan konidia dalam jumlah maksimal diperlukan media dengan partikel yang permukaannya lebih luas. Bahan media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan yang sempit, sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah media yang tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga yang dapat mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et al., 1984; Bradley et al., 1992).

Tiga jenis bahan media alami yang telah dicoba dalam perbanyakan B. bassiana skala besar di New Zealand adalah beras, gandum, dan barley. Hasilnya, beras merupakan media paling sesuai bagi perkembangan B. bassiana dengan produktivitas konidia tertinggi mencapai 4,38 x 109 konidia/g beras (Nelson dan Glare, 1996). Penggunaan berbagai jenis sereal, selain beras, sebagai media perbanyakan B. bassiana perlu dipertimbangkan mengingat kandungan nutrisinya yang sangat bervariasi (Jenkins et al., 1998). Perbedaan kandungan nutrisi ini sangat mempengaruhi produksi konidia, terutama per kelompok produksi (batch). Oleh karena itu, pemilihan bahan media perbanyakan harus dilakukan secara tepat, terutama memilih bahan yang memiliki kemampuan produksi konidia secara konsisten dalam kelompok-kelompok produksi. Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa beras putih merupakan bahan media perbanyakan B. bassiana yang tepat karena produksi konidia yang tinggi (Alves dan Pereira, 1989; Mendonca, 1992; Ibrahim dan Low, 1993; Milner et al., 1993). Hal tersebut
Menunjukkan bahwa kombinasi faktor-faktor produkai sangat kompatibel, termasuk keseimbangan nutrisi dalam bahan media, biaya produksi, kemudahan memperoleh bahan, karakter fisik bahan, seperti ukuran, bentuk, dan keutuhan bahan baik sebelum maupun setelah pengkolonisasian konidia.
Dalam perbanyakan, temperatur inkubasi dan cahaya sangat menentukan produktivitas konidia. Temperatur optimal setiap cendawan bervariasi tidak saja antar spesies, tetapi juga antar isolat (Thomas dan Jenkins, 1997; Alasoadura, 1963). Temperatur optimal untuk perkecambahan konidia adalah 25-30°C, dengan temperatur minimum 10°C dan maksimum 32°C. Sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan adalah 5,7-5,9, tapi idealnya pH 7-8 (Goral dan Lappa, 1972). Beberapa cendawan membutuhkan cahaya untuk proses sporulasi, sedangkan cendawan lainnya tidak terpengaruh oleh cahaya. Tetapi ada pula cendawan yang sporulasinya terhambat pada tingkat intensitas cahaya tertentu (Vouk dan Klas, 1931). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa B. bassiana yang diproduksi di lingkungan tanpa cahaya (gelap) konidianya cenderung berukuran lebih besar dan lebih virulen dibanding yang diproduksi pada tempat terang (Humphreys et al., 1989; Williams, 1959). Hal ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam memilih kemasan yang sesuai apabila biakan cendawan harus dibawa ke luar areal perbanyakan. Selain itu yang lebih penting dalam perbanyakan B. bassiana untuk skala komersial adalah kesesuaian produk dengan teknik formulasi dan aplikasinya.

Umumnya produk B. bassiana diformulasi dalam bentuk bubuk (powder) dan merupakan formulasi paling efektif memicu kontak dengan hama sasaran (Stimac et al., 1993). Formulasi B. bassiana berupa pellet hasil enkapsulasi miselium selain efektif untuk meningkatkan mortalitas hama juga untuk mengurangi kompetisi dengan mikroba lain, sehingga meningkatkan daya hidup B. bassiana (White, 1995).

Dalam jurnal diketahui kalau penambahan tepung tapioka sebanyak 1 g dan suhu penyimpanan 5OC, mempunyai potensi yang baik dalam mempertahankan viabilitas spora B. bassiana sekurang-kurangnya sampai dua bulan penyimpanan. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan daya simpan tepung tapioka yang lebih baik daripada tepung beras dan maizena serta didukung oleh suhu rendah yang sesuai untuk mempertahankan viabilitas spora B. bassiana. Terjadi penurunan viabilitas spora kering B. bassiana lebih cepat, seiring dengan semakin meningkatnya dosis pembawa, suhu dan lama penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 5OC menunjukkan kemampuan mempertahankan viabilitas spora B. bassiana kering murni lebih lama daripada kondisi suhu 23C dan suhu 29C.


Perkembangan pemanfaatan cendawan entomopatogen B. bassiana cukup pesat, karena cendawan ini dapat mengendalikan berbagai spesies serangga hama, baik yang hidup pada kanopi tanaman maupun di dalam tanah. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami. B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) saat ini sudah mulai diterapkan di berbagai tempat oleh petani. Pengendalian ini dikhususkan pada pengendalian hama menggunakan cara yang ramah lingkungan seperti dengan cara biologi, mekanik, fisik, kultur teknis, dan sanitasi. Pengendalian hama yang terus menerus menggunakan pestisida akan menimbulkan dampak negatif yang cukup besar seperti hilangnya unsur hara yang ada pada tanah.

Pengendalian menggunakan Beauveria bassiana pada konsentrasi tinggi terbukti bisa menurunkan mortalitas hama dengan persentase mencapai 84 persen. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memastikan bahwa cendawan Beauveria bassiana mampu mengendalikan populasi hama dan layak untuk diterapkan pada sistem budidaya tanaman.
Dengan demikian, pada artikel ini dicontohkan hasil pengaplikasian cendawan Beauveria bassiana terhadap beberapa hama penting tanaman. Seluruh hama mati pada persentase hingga 84 persen membuktikan keberhasilan metode pengendalian menggunakan cendawan entomofagus Beauveria bassiana.


DAFTAR PUSTAKA

Soetopo,Deciyanto dan Iga Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Prospektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007 : 29 – 46

Sri-Sukamto dan Kelik yuliantoro. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Viabilitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Dalam Beberapa Pembawa. Pelita Perkebunan 2006, 22(1), 40—57.

Trisawa dan Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik Renda Lada Diconocoris hewetti (DIST.) (HEMIPTERA: TINGIDAE). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 99 – 106

sumber : http://beauveria-bassiana.blogspot.com/2013/02/artikel-beauveria-bassiana.html



BACA SELANJUTNYA... ¾¾ªª

Jumat, 26 Juli 2013

BIOPESTISIDA ADALAH DARI TANAMAN DISEKITAR KITA


TANAMAN YANG DAPAT DIJADIKAN BIOPESTISIDA :
Mimba – Azadirachta indica
  Ambil dua genggam bijinya, ditumbuk dan dicampur dengan 1 liter air. Lalu, aduk sampai rata. Setelah didiamkan 12 jam, kemudian saring. Bahan tersebut merupakan bahan aktif yang penggunaanya harus ditambah dengan air sebagai penegncer.Selain biji, daunnya juga bisa digunakan untuk pestisida. Ambil daun sebanyak 1 kg, lalu rebus dengan 5 liter air. Diamkan selama 12 jam, kemudian saring. Air saringannya merupakan bahan pestisida alami yang digunakan sebagai pengendali berbagai hama tanaman.

Tembakau (Nicatium tabacum) 
 Batang atau daunnya dapat digunakan sebagai bahan pestisida alami. Caranya rendam batang atau daun tembakau selama 3-4 hari. Setelah direbus selama 15 menit, saring dan dinginkan. Pestisida ini bisa digunakan untuk mengusir kutu daun.

Tuba (Derriseleptica)Akar dan kulit kayu ditumbuk sampai hancur benar. Kemudian campur dengan air dibuat ekstrak. Campur enam sendok makan esktrak dengan 3 liter air. Bisa digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman.

Temu-temuanAmbil rimpangnya, kemudian tumbuk halus dicampur air urine (air seni) sapi. Kemudian diencerkan dengan perbandingan 1 : 2-6 liter. Campuran ini dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga penyerang tanaman.

Kucai (Allium schonaoresum)Seduh kucai dengan air mendidih, kemudian disaring dan biarkan dingin. Ramuan ini dapat mengusir pengganggu tanaman mentimun.

Bawang putih (Allium sativum)Bawang putih atau bawang bombai digiling bersama cabai, tambahkan sedikit air. Diamkan sekitar 1 jam. Lalu, berikan 1 sendok makan deterjen, aduk sampai rata, setelah itu ditutup. Simpan Selma 7-10 hari di tempat sejuk dan terhindar dari sinar matahari langsung. Bila ingin menggunakannya, campur ekstrak tersebut dengan air. Berguna untuk membasmi serangga.

Abu bakaran kayuTaburkan abu disekeliling akar tanaman bawang Bombay, kol atau lobak. Abu berguna mengendalikan siput, ulat grayak serta belatung berakar (root maggot).

Cabai merah (Capsium annum)Jemur cabai sampai kering, kemudian gilinglah hingga menjadi tepung. Untuk menggunakannya, anda cuku p mencapai tepung cabai dengan air secukupnya sebagai pengendali semut.

Kemangi (Ocium sanetu)Daun kemangi dijemur hingga kering kemudian direbus sampai mendidih. Air rebusan tersebut dapat kita gunakan sebagai pestisida alami yaitu mengusir serangga.

Biji Srikaya ( Anoma squamosa)Tumbuk beberapa buah biji srikaya hingga menjadi tepung. Kemudian campur dengan air secukupnya . ramuan ini dapat mengusir apit, semut, dan hama lain yang menyerang tanaman.

Buah buahan busuk Selain berasal dari rempah-rempah dan dedaunan, kita bisa memantaatkan buah-buahan busuk sebagai pestisida Effectives Microorganismes (EM).Ambil buah-buahan busuk kira-kira 4 buah (5 kg) untuk diperas atau diparut hingga halus dan disaring untuk diambil sarinya. Siapkan juga ¼ kg bawang putih yang sudah dihaluskan. Campur keduanya dan tambahkan air tape ketan/cuka/alcohol sebanyak 10 sendok makan. Ditambahkan air bekas cucian beras 1 liter dan 1 ons gula pasir.Masukkan cairan kedalam botol diperam ditempat yang terhindar dari sinar matahari langsung selama 2 minggu. Untuk menggunakannya larutan itu dicampur air de ngan perbandingan 10 sendok makan EM : 10 liter air.Selain bertindak sebagai pestisida, EM dapat berfungsi sebagai pupuk tanaman. Oleh karena teridir dari mikroorganisme nabati alami, larutan ini hanya bertahan selama 3 bulan. Cara pemakaiannya cukup mudah. Apabila terdapat tanda-tanda serangan hama, larutan EM yang sudah dicampur dengan air disemprotkan langsung pada tanaman
BACA SELANJUTNYA... ¾¾ªª