Di
era serba organik seperti sekarang ini, penggunaan pestisida organik cukup
mendukung untuk mengatasi masalah gangguan serangan hama tanaman komersial.
Pestisida organik pun dapat menjamin keamanan ekosistem. Dengan pestisida
organik, hama hanya terusir dari tanaman petani tanpa membunuh. Selain itu
penggunaan pestisida organik dapat mencegah lahan pertanian menjadi keras dan
menghindari ketergantungan pada pestisida kimia. Penggunaan pestisida organik
harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan kesabaran serta ketelitian.
Banyaknya pestisida organik yang disemprotkan ke tanaman harus disesuaikan
dengan hama. Waktu penyemprotan juga harus diperhatikan petani sesuai dengan
siklus perkembangan hama(Sudarsono. 2006).
Tanaman Annona muricata (sirsak) mengandung zat toksik
bagi serangga hama. Serangga yang menjadi hama di lapangan maupun pada bahan
simpan mengalami kelainan tingkah laku akibat bahan efektif yang terkandung
pada daun sirsak. Disamping itu dapat juga menyebabkan pertumbuhan serangga
terhambat, mengurangi produksi telur dan sebagai repellen (penolak) (Gruber dan
Karganilla, 1989).
Kematian larva yang diakibatkan oleh ekstrak daun sirsak memperlihatkan indikasi tidak sempurnanya proses ekdisis terbukti dengan adanya sejumlah larva yang gagal melepaskan kutikula lamanya. Larva yang mengalami gejala ini lama-kelamaan akan mati dengan memperlihatkan gejala kematian akibat pengaruh simultan dari toksisitas ekstrak, kelaparan dan gagal melepaskan proses ganti kulit, terlihat adanya larva menjadi mengecil dan berwarna gelap (Gionar, 2004).
Kandungan daun sirsak mengandung senyawa acetoginin,
antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Pada konsentrasi tinggi, senyawa
acetogenin memiliki keistimewan sebagai anti feedent. Dalam hal ini, serangga
hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainya.
Sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun
perut yang bisa mengakibatkan serangga hama menemui ajalnya (Hartati, Z. 2002).
Acetogenin adalah senyawa polyketides dengan struktur 30–32 rantai karbon tidak
bercabang yang terikat pada gugus 5-methyl-2-furanone. Rantai furanone dalam
gugus hydrofuranone pada C23 memiliki aktifitas sitotoksik, dan derivat
acetogenin yang berfungsi sitotoksik adalah asimicin, bulatacin, dan squamocin
(Kardinan, A. 2000).
Walang sangit (L. acuta) mengalami metamorfosis sederhana
yang perkembangannya dimulai dari stadia telur, nimfa dan imago. Imago
berbentuk seperti kepik, bertubuh ramping, antena dan tungkai relatif panjang.
Warna tubuh hijau kuning kecoklatan dan panjangnya berkisar antara 15 – 30 mm
(Harahap dan Tjahyono, 1997).
Telur. Telur berbentuk seperti cakram berwarna merah coklat gelap dan diletakkan secara berkelompok. Kelompok telur biasanya terdiri dari 10 - 20 butir. Telur-telur tersebut biasanya diletakkan pada permukaan atas daun di dekat ibu tulang daun. Peletakan telur umumnya dilakukan pada saat padi berbunga. Telur akan menetas 5 – 8 hari setelah diletakkan. Perkembangan dari telur sampai imago adalah 25 hari dan satu generasi mencapai 46 hari (Baehaki, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Gruber,
L.C. dan George S. Karganilla, 1989. Neem Production and use. Philippine-German
Biological Plant Protection Project Bureau of Plant Industry Department of
Agriculture 692 San Andress Street Malate. Philippiness.
Hartati,
Z. 2002. Pengujian Ekstrak Biji Daun Sirsak Untuk Mengendalikan Hama
Helicoverpa armigera
Kardinan,
A. dan M. Iskandar. 1997. Pengaruh berbagai jenis ekstrak tanaman sebagai
moluskisida nabati terhadap keong mas (Pomacea canaliculata). Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia. 3 (2).
Rio.2009.
walang-sangit-leptocorisa-acuta
.http://riostones.blogspot.com/2009/08/walang-sangit-leptocorisa-acuta.html
Diakses tanggal 2 Juni
2011 Pukul 14.32 WIB
Sudarsono.
2006. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan
Strategi Pengembangannya.Perspektif Vol. 8 No. 2 / Desember 2009. Hlm 115 –
176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar